Khoirul Anam (pria yang memakai kemeja biru) berbicara mengenai antisipasi hoax pada diskusi 1 dengan tema “Menanggulangi Hoax di Media Sosial” di acara Festival Agama Untuk Perdamaian, Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta hari Sabtu pagi (23/3/2019)

Khoirul Anam (pria yang memakai kemeja biru) berbicara mengenai antisipasi hoax pada diskusi 1 dengan tema “Menanggulangi Hoax di Media Sosial” di acara Festival Agama Untuk Perdamaian, Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta hari Sabtu pagi (23/3/2019)

Jakarta – Beredarnya berita – berita hoax yang terjadi belakangan ini di media sosial perlu diwaspadai. Masyarakat perlu paham ciri – ciri berita yang hoax ataupun yang tidak. Demikian yang dipaparkan oleh Khoirul Anam pada Sabtu pagi (23/3/2019) pada Diskusi 1 dengan tema “Menanggulangi Hoax di Media Sosial” di acara Festival Agama Untuk Perdamaian, Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta.

Menurut data dari website Kementerian Komunikasi dan Informatika bulan Agustus 2018 – Maret 2019 pada Siaran Pers No. 69/HM/KOMINFO/04/2019 yang dirilis pada tanggal 1 April 2019, temuan isu hoax sebanyak 1.224. Peningkatan isu hoax terjadi pada bulan Januari 2019 – Maret 2019. Pada bulan Januari 2019, sebanyak 175 konten hoaks yang berhasil diverifikasi oleh Tim AIS Kementerian Kominfo. Angka itu naik dua kali lipat di Februari 2019 menjadi 353 konten hoaks. Angka tersebut menjadi 453 konten hoaks selama Maret 2019.

Dari jumlah 453 hoaks yang diidentifikasi selama Maret 2019 tersebut, selain terkait isu politik, juga menyasar isu kesehatan, pemerintahan, hoaks berisikan fitnah terhadap individu tertentu, terkait kejahatan, isu agama, internasional, mengarah ke penipuan dan perdagangan serta isu pendidikan.

Data temuan isu hoaks bulan Agustus 2018-Maret-2019 yang dirilis oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika melalui Siaran Pers pada tanggal 1 April 2019

Data temuan isu hoaks bulan Agustus 2018-Maret-2019 yang dirilis oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika melalui Siaran Pers pada tanggal 1 April 2019

Khoirul Anam mengatakan bahwa ciri – ciri hoaks yakni menciptakan kebencian dan kebohongan. “Berita yang tidak memberitakan malah memberatkan, membuat susah, kecemasan daripada mengandalkan kaidah jurnalistik maka tinggalkan atau abaikan saja” ujar mantan staff Badan Nasional Penanggulangan Terorisme itu.

Ciri – ciri tulisan yang termasuk dalam kategori hoaks, lanjutnya, dicetak dengan teks tebal dan kacau dalam bentuk tidak ada spasi, titik komanya kacau, selalu bersumber dari media ternama tapi sudah diubah terlebih dahulu isi dan linknya, kata-kata yang tidak tegas, tata bahas kacau, dan tidak sesuai aslinya serta yang penting posting dulu pengecekan kebenarannya kemudian. “Biasanya diawali dengan kata – kata emosional dan menohok yang mengandung respon pembaca bukan respon yang diperintahkan oleh penulis” terangnya.

Ciri – ciri gambar yang dikategorikan hoaks, ungkapnya, ada perbedaan isi gambar dan tulisan yang menakutkan nan mencemaskan. Gustika Jusuf Hatta yang juga pembicara dalam talkshow tersebut menambahkan, kita dapat mengecek kebenaran gambar yang kita peroleh dari grup media sosial dengan cara melakukan upload di google images lalu lakukan pencarian maka akan tampil data – data siapa saja yang memakai gambar itu dan tahun berapa.

Pria dari Alumni Center for Religious and Cross Cultural Studies, Universitas Gajah Mada Yogyakarta itu mengujarkan hoaks yang paling susah dideteksi saat ini dalam bentuk video. Dalam talk show itu, Khoirul Anam mengajarkan kepada peserta yang hadir untuk melakukan pengecekan gerakan mulut dan suara saat suatu orang berbicara apakah benar atau tidak.

Ciri-ciri online abuse seperti yang dipaparkan oleh Khoirul Anam yaitu judul dan pengantarnya bersifat provokatif yang tidak sesuai dengan isinya, minta supaya diviralkan atau share, sumber yang tidak jelas dan tidak ada yang bisa dimintai tanggung jawab atau klarifikasi.

Pada acara diskusi tersebut, selain Khoirul Anam, pembicara lainnya adalah Gustika Jusuf Hatta, dan Anick HT (demokrasi.id). Diskusi ini merupakan bagian dari acara Festival Agama untuk Perdamaian yang diselenggarakan oleh Indonesia Conference on Religion and Peace.

(ric/red)