Steve Darjanto adalah salah seorang saksi sejarah dari peperangan 10 Nopember 1945 ketika ditemui pada acara komunitas Roodeburg dan Historibersama.com pada hari Minggu (9/4/2017)

Steve Darjanto adalah salah seorang saksi sejarah dari peperangan 10 Nopember 1945 ketika ditemui pada acara komunitas Roodeburg dan Historibersama.com pada hari Minggu (9/4/2017)

Surabaya – Mendiskusikan sejarah dalam sebuah peradaban penting untuk memberikan pencerahan sekaligus refleksi bagi generasi muda saat ini agar kelak ke depan mereka dapat memahami peristiwa sejarah. Oleh karena itu, pada hari Minggu, 9 April 2017, komunitas Roodeburg dan Historibersama.com menyelenggarakan pemutaran film dan diskusi Archieve Van Tranen (Arsip Sebuah tangisan) di auditorium Monumen 10 Nopember Surabaya.

Dalam pemutaran film selama 45 menit ini mengisahkan tentang perang dari arek Suroboyoan yang menghabisi orang-orang Indo pada tahun 1945. Ini ditunjukkan dengan beberapa kesaksian orang-orang Indo yang terbebas dari peristiwa pembantaian massal pada masa itu. Ruangan auditorium yang tidak terlalu sejuk, kurangnya sarana microphone yang memadai dan penerangan lampu yang kurang bersahabat itu tidak menyurutkan semangat kurang lebih 150 orang dari berbagai generasi. Para penonton diajak berdiskusi tentang film yang dibuat oleh Pia Van der Molen dan Michiel Praal ini.

Steve Darjanto, salah seorang saksi sejarah dari peperangan 10 Nopember 1945, mengatakan, arek-arek Suroboyo pada waktu itu kompak dan bersatu untuk memerangi  Belanda dan sekutu yang datang untuk menghancurkan kota Surabaya dan sekitarnya. “hari ini adalah suatu kebanggaan dalam menyuarakan siapa Bung Tomo yang adalah pahlawan sejati. Bung Tomo, bagi tentara Belanda, merupakan seorang pengacau. Bagi arek-arek Suroboyo, Bung Tomo sebagai pahlawan sejati selain Roeslan Abdulgani. Mengenai kemerdekaan, buat arek-arek Surabaya sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi karena kemerdekaan itu adalah harga mati. Sebagai bukti, banyaknya dapur-dapur umum yang dibuka untuk mendukung para pejuang Surabaya. Hidup pada masa itu penuh dengan penderitaan. Kemerdekaan diperoleh bukan dengan biasa-biasa saja tetapi dengan darah, tetesan air mata dari arek-arek suroboyo dan itu mahal sekali sampai titik darah penghabisan,”kata Steve.

“Menurut saya, film ini hanya berbicara satu sisi saja, Mohon maaf hanya berbicara dengan satu sisi saja dari Belanda. Untuk itu, tolong sebagai generasi tua, saya berharap, dikumpulkan para veteran-veteran dari kedua negara dan kemudian kita berdiskusi tentang perjuangan arek-arek Suroboyo itu berani untuk mempertahankan kemerdekaan” tambah pria yang dulunya tinggal di Jagalan 7/7 Surabaya.

Steve berharap, agar generasi muda lebih tekun dan bertekad untuk mempelajari sejarah atau bidang apa saja supaya lahir Soetomo dan Roeslan Abdulgani yang baru. “Mari generasi penerus untuk belajar lebih tekun agar lahir Bung Tomo–Bung Tomo dan Roeslan Abdulgani memiliki semangat yang tegas dan berani mengatakan Indonesia tetap merdeka,”seru Steve.

Sementara itu, Marjolein Van Pagee, pendiri historibersama.com, mengatakan, pemutaran film dan diskusi ini hanya memberikan informasi tentang tanggapan orang-orang Belanda tentang peristiwa Bersiap khususnya pembantaian di gedung Simpang Societeit atau sekarang lebih dikenal dengan gedung Balai Pemuda. “Yang saya tahu, tempat ini memiliki peristiwa sejarah yang sangat mengerikan pada waktu Belanda menjadi penjajah. Film ini hanya berbicara dari perspektif orang-orang Belanda. Saya tidak meragukan peristiwa itu karena bukti-bukti fakta yang sudah disampaikan oleh saksi-saksi sejarah. Dan maksud pemutaran film  ini, bukan menuduh siapa yang benar dan salah. Karena kita terpisah dan ini disebabkan bangsa Indonesia-Belanda memiliki perspektif masing-masing dari orang-orang Belanda dan Indonesia tentang peristiwa di gedung ini dan tempat lainnya di Surabaya dan sekitarnya pada masa penjajahan,”kata Marjolein.

Marjolein Van Pagee di depan gedung Balai Pemuda

Marjolein Van Pagee di depan gedung Balai Pemuda

Marjolein berharap, dengan pemutaran film ini dapat membuka jembatan dialog serta refleksi antar orang Belanda dan Indonesia terhadap sejarah sekaligus menjawab hubungan sejarah yang terputus antar generasi harus diungkap kepada masyarakat. “saya berpikir para korban yang terbunuh ini adalah korban dari masa penjajahan Belanda dan bukan karena negara yang ingin kemerdekaan. Untuk itu, kita mulai dari awal bagaimana kita sebagai anak-anak bangsa untuk mengadakan observasi dan membuka diri dalam berdialog sehingga memiliki pencerahan tentang sebuah masalah yang terjadi pada masa bersiap itu kepada semua generasi,”tambah Marjolein.

(Pet)