Aparat Penegak Hukum Dalam Melindungi Anak dan Perempuan

Para pembicara dari Kementerian PPPA, Aparat penegak hukum berpengalaman, Ombudsman RI, Komnas Perempuan, Akademisi, dan pihak UPT P2TP2A mengulas penanganan perlindungan anak dan perempuan di acara “Pelatihan Sensitivitas Gender dalam Upaya Perlindungan Perempuan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) bagi Aparat Penegak Hukum” sejak 27 – 30 Juli 2018 di Bali.
Bali – Aparat penegak hukum merupakan ujung tombak pemenuhan rasa keadilan bagi korban dalam sebuah proses hukum, termasuk pada kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Oleh karena itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menyelenggarakan “Pelatihan Sensitivitas Gender dalam Upaya Perlindungan Perempuan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) bagi Aparat Penegak Hukum” sejak 27 – 30 Juli 2018 di Bali.
Dalam acara itu dipaparkan hasil Survey Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2016 yang dilakukan Kementerian PPPA bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS), 1 dari 3 perempuan di Indonesia telah mengalami kekerasan oleh pasangannya dan selain pasangan selama hidupnya.
Survey tersebut juga menemukan bahwa 15,8% perempuan yang pernah/sedang menikah pernah mengalami kekerasan seksual dari pasangannya. Sementara 34.4% perempuan belum pernah menikah mengalami kekerasan seksual dari selain pasangannya.
Pada siaran pers, Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA, Vennetia R. Danes mengatakan bahwa aparat penegak hokum perlu memahami dan merespons dengan cepat dalam penanganan kasus hukum dan melindungi para korban, termasuk korban perempuan dan anak sesuai amanat peraturan perundang-undangan.
“Kendala yang dirasakan saat ini adalah belum tercapainya kesamaan persepsi yang responsive gender di kalangan aparat penegak hukum tentang alat bukti kasus kekerasan yang kompleks, mekanisme perlindungan bagi saksi dan korban, serta koordinasi dalam pemenuhan hak korban. Sehingga mengakibatkan kurangnya responsitifitas terhadap para korban yang mengalami trauma dari kekerasan”ujar Vennetia R. Danes.
Lanjutnya, perkembangan pesat dalam menangani hal tersebut terjadi di Kepolisian yakni dengan bertambahnya jumlah anggota Unit Pelayanan Perempuan dan Anak di tingkat Kepolisian Sektor (Polsek) selain di Kepolisian Resor (Polres) dan Kepolisian Daerah (Polda). Tapi perlu dikembangkan lagi dengan adanya pelatihan – pelatihan bagi tim Unit Pelayanan Perempuan dan Anak.
Kegiatan ini diikuti oleh 250 peserta yang terdiri dari Hakim, Jaksa, Polisi, dan Advokat pendamping hukum Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) atau Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A). Dalam kegiatan tersebut, para peserta mendapat paparan dari para ahli di bidangnya, diantaranya dari Kementerian PPPA, Aparat penegak hukum berpengalaman, Ombudsman RI, Komnas Perempuan, Akademisi, dan pihak UPT P2TP2A. Para peserta juga dibekali pengalaman melalui studi kasus dan simulasi penanganan serta perlindungan bagi perempuan korban kekerasan.
(pet/ric)
Leave a Reply